Gubuk itu masih di sana meski kita mengembara
Masih gagah meki tak megah
Jangan heran,
Meski berpindah aku beberapa kali singgah
Sekedar memandang bintang yang kini remang
Yang sedari dulu kita perselisihkan warnanya tak tersepakatkan
Masih ingat?
Hingga hujan terakhir kita masih tak sama
Bertahan pada terang yang kita pegang
Berakhir pada diam di awang-awang
Gubuk itu kian renta saat kita mengembara
Mungkin ingat atau mungkin lupa kita pernah di sana
Seperti juga kau yang entah lupa entah ingat bersamanya menyimpan cerita
Berteduh melawan hujan tak kunjung reda
Masih ingat?
Hujan yang sama yang tak pernah hadir
Tiap kali aku kembali mampir
Seperti juga kau yang tak pernah mau berhenti pergi
Atau bahkan tak lagi sudi berbalik arah
Meski sekedar singgah
Gubuk itu entah kapan akan terus ada
Seperti terang bintang yang kita perselisihkan
Dan entah,
Akankah kembali kita perselisihkan
Saat berakhirnya pengembaraan
(nemu puisi lama ;ditulis September 2004)
Buat alumni kost2an tali…. “Masih ingat gubuk kita dulu nggak 😛 ?”
- (Teruntuk : Yth. Bapak Taufiq Ismail)
- Balairung Pancasila nan gagah pagi itu
- Sesak gempita bocah-bocah berseragam biru
- Cerah, melepas jemu roda pembelajar
- Riang, sambut pencerah bak pesta akbar
- ‘Jumpa Tokoh Nasional ‘ payung perjumpaan kala itu
- ‘Sastrawan Bicara,Siswa Bertanya’ di dua puluh sembilan maret dua ribu
- Tak ada kamera di genggaman tangan para bocah
- Tak ada potret dan rekaman penyimpan sejarah
- Balairung Pancasila nan megah pagi itu
- Lebur si bocah dalam kacamata kagum dan cemburu
- Ketika serentetan sejarah terdongeng rapi lewat puisi
- Dari ‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’ hingga kisah-kisah Si Toni
- Balairung Pancasila,
- saya dan Bapak pagi itu
- Tak ada potret dan rekaman penyimpan kenangan
- Hanya Ingatan di pelupuk mata tak tergantikan
- Bersahaja Bapak tegak tulus berkabar
- Bermusik dalam setiap tutur yang terdengar
- Menyuntikkan energi menggelegar tanpa hingar bingar
- Sejarah tercatat lewat karya, kritikan tersampaikan lewat kata, doa terbagikan lewat rima
- Tak berlebihan jika saya turut mencoba?
- Rasanya saya dan Bapak sama soal selera
- Penyuka sastra dan pecinta beasiswa
- Tak beda tumbuh dalam keluarga guru
- Masih bisakah jejak Bapak saya tiru ?
- Rasanya saya dan Bapak sama soal logika
- Menikmati perjalanan berwisata sebuah cita-cita
- Pilihan dokter hewan dan ahli peternakan pada mulanya tentu tak mudah dilakoni oleh seorang penyaji kata
- Masih bisakah saya teladani langkah Bapak (meski berbeda pijakan) untuk sebuah impian yang sama?
- Balairung Pancasila esok hari,
- Berharap masih ada waktu untuk Bapak kembali
- Tak lagi bersama almarhum Bapak Hamid Jabbar
- Barangkali bersama karya-karya saya yang tak lagi hambar
- ****
- Puisi di atas ditulis dengan kesadaran penuh (setelah bertahun-tahun koma dari dunia tulis-menulis) di penghujung Maret 2011. Terpicu dan terpacu oleh semangat sebuah proyek sosial untuk menerbitkan sebuah buku antologi puisi yang bertajuk untukmu pena inspirasiku ,berisi kumpulan puisi yang dipersembahkan bagi tokoh inspiratifnya. Konon, hasil penjualannya akan disumbangkan untuk anak jalanan.
- Belum lama batinku bercakap tentang merdeka
- Saat ritme tak lagi bernyawa
- Saat kepak sayapku terbentang bebas
- Lepas menembus batas
- Menyapa dunia
- Membeo sepuasnya
- Terbang…terbang…
- Jauh…dan menjauh…tinggalkan sangkar…
- Tanggalkan lelap
- Mencari tempat hinggap
- Terbang…terbang…bebas
- Namun tetap saja alunan ritme beriring nafas
- Seolah tidak puas membiarkanku benar-benar lepas
- Hinggapku pada putaran bayu yang sama
- Itu dan itu
- Hafalku berkawan cerah mendung sewarna
- Kadang jenuh juga
- Namun bukankah harmoni keteraturan adalah anak alam?
- Seperti siang menggapai malam
- Seperti rumput tak terkalahkan
- Menilik bilik
- Ingin rasanya kembali ke sangkar
- Sesaat ku menengok ke bawah
- Kulihat bibir bergerak tanpa suara ;
- “Sabar Nak, teruslah terbang…
- kerajaan terindahmu masih menanti di sana”
- -Kombis Juli 2004-